Rabu, 15 April 2009

Pendidikan Layanan Khusus 5

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pendidikan Layanan Khusus 4

Sentra Pendidikan Layanan Khusus ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)

Pendidikan Layanan Khusus 3

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya. Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Pendidikan Layanan Khusus 2

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Ditulis oleh Rahmintama

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)

Pendidikan Layanan Khusus 1

LP3M Laksanakan Pendidikan Layanan Khusus
13 Februari 2009 — ismail

LP3M unismuh kerjasama dengan Diknas menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi anak nelayan di Desa Aeng Batu-Batu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang anak putus sekolah yang dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas setingkat SMA dan kelas untuk tingkatan SMP.

Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pengetahuan anak-anak nelayan yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Namanya saja pelayanan khusus, jadwalnya juga dibuat khusus yaitu hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dilaksankaan selama 6 kali pertemuan yang materinya meliputi bidang studi matematika, agama, ekonomi, biologi, dan bidang studi lainnya berdasarkan kebutuhan daerah setempat.

Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Pendidikan Khusus 5

Tingkatkan SDM, TNI AL Buka empat Pendidikan Khusus

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).
Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.
Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.
Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.
“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.
Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut
Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.
Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

Pendidikan Khusus 4

Landasan Hukum Pendidikan Khusus untuk CI/BI
Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa di Indonesia memiliki landasan hukum sebagai berikut:

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :

a. Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

b. Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

c. Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 52, “anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.

PP No. 72/1991, tentang Pendidikan Luar Biasa

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional

Keputusan Mendiknas No. 053/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Mendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Peraturan Mendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Peraturan Mendiknas no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.

Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Pendidikan.

Ditulis dalam Landasan Penyelenggaraan Pendidikan CI/BI

Pendidikan Khusus 3

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.
Oleh : Nurma Cholida

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Pendidikan Khusus 2

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna

Kristianto Purnomo
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Madya TNI Subandrio memeriksa anggota pasukan TNI AU saat upacara bendera peringatan Hari Ulang Tahun TNI Angkatan Udara ke-62 di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4). Peringatan HUT TNI AU ini berlangsung sederhana tanpa atrksi akrobatik.

JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).

Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).

Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.

Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Pendidikan Khusus 1

TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).
Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.
Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensifyang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.
Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.
“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.
Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut
Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.
Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara.

Pendidikan Keagamaan 5

Internalisasi Nilai Agama dalam Pendidikan Lingkungan
(Strategi Menanamkan Kearifan Ekologi secara Dini)
Oleh: Husamah*


Pergeseran posisi manusia sebagai bagian dari alam menjadi penguasa alam akhirnya membawa bencana. Banjir bandang dan tanah longsor menghancurkan beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jember, menewaskan lebih dari 60 orang, meluluhlantakkan segala harta benda, serta menghancurkan perkebunan yang selama ini diyakini sebagai penyebab kerusakan alam karena adanya alih fungsi hutan. Awal Tahun 2006 ini bencana atau musibah yang menimpa kian bertambah besar dan merata. Dipastikan setiap kali pergantian musim selalu diiringi musibah baru.

Datangnya musim hujan disertai berbagai bencana. Antara lain banjir, tanah longsor, dan berbagai penyakit. Ribuan rumah di Jawa Timur tergenang di Blitar, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan hampir diseluruh kabupaten di Jawa Timur. Wajah seperti inipun kemudian tampak di Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), NTB (Lombok Timur dan Sumbawa), NTT, dan berbagai daerah lain. Ribuan orang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Ribuan anak pun tidak bisa sekolah karena sekolah tergenang air, roboh akibat banjir, maupun buku-buku basah. Jutaan hektar lahan pertanian yang menjadi sumber pencaharian masyrakat rusak, panen terancam gagal dan ternak mati.

Perspektif agama

Dari realita di atas sangat wajar bila manusia selalu mendapat bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, kekeringan, dan lain-lain, mengingat manusia -yang katanya makhluk beragama-sama sekali tidak pernah menghargai, menghormati, apalagi mensyukuri lingkungan yang telah diberikan Tuhan. Dalam perspektif agama, musibah atau bencana di negeri ini merupakan warning dan atau cobaan yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya yang berbuat salah, yang senantiasa melakukan kerusakan-kerusakan di bumi.

Al-Qur'an sebagai sumber moral manusia dengan tegas telah menjelaskan posisi manusia-ekologi. Allah SWT menasbihkan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifatulah fil ardi) (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan" (Q.S. Arrahman: 6-9). Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah ('abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86).

Konsep ekologi modern menunjukkan ayat-ayat di atas adalah dasar dari proses regulasi alam bagi makhluk hidup. Terdapat pola hubungan kemanfaatan bagi hubungan timbal balik yaitu komponen biotic dan abiotik. Hubungan tanah (bumi), udara (langit), air tumbuhan dan segala yang hidup. Sangat jelas, sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan "perlawanan".

Secara khusus dalam syariat Kristen terdapat pola religius relasi manusia dengan alam semesta. Gadium et Spes bicara secara jelas tentang hubungan manusia dengan alam, semua punya moral (Rm 8:21). Serta semuanya adalah milik manusia, tapi manusia milik Kristus dan Kristus adalah milik ALLAH (1 Kor 3:23. selanjutnya manusia dapat mengembangkan anugerah jasmani rohani, menakluikkan alam semesta untuk seluruh umat manuisa (Gaudium et spes). Kristen menganjurkan dalam hal ini bahwa pembangunan lingkungan harus bertujuan mencapai mutu hidup optimum bagi masyarakat.

Agama Hindu pun mengajarkan bahwa lingkungan memegang peranan sangat penting tubuh manusia. Getaran-getaran dan gaya tarik lingkungan untuk mnedapatkan hidup yang lebih nikmat. Konteks ini memberi petunjuk dan pedoman bahwa Tuhan pencipta alam semesta menyuruh untuk memanfaatkn lingkungan hidup dan kualitasnya. Dalam agama Buddha ajaran melestarikan berasal dari pola kedisiplinan yang diterapkan oleh 227 kedisiplinan buddhis dalam "227 patimokkha sikhapada". Secara praktis (Legowo E,1997), kebajikan pada "Dasa Paramitta" menjadi modal ketaatan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yaitu dana parramita, sila paramitta, nkkhamma paramitta, panna paramitta, viriya paramitta, khanti paramitta, sacca paramitta, adithana paramitta, metta paramitta dan upekkha paramita

Internalisasi nilai

Dalam perkembangannya telah muncul berbagai gagasan menangani ketidakseimbangan lingkungan untuk perbaikan kualitas hidup yang ramah lingkungan. Pendidikan lingkungan menjadi salah satu alternative yang rasional dan diharapkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 1996 yang kemudian direvisi pada bulan Juni 2005. Harapan ini sangat relevan mengingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai bentuk aplikasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 mempunyai orientasi yang lebih luas, dimana kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola perilaku.

Jika dipandang dari segi lingkungan maka kompetensi yang dimiliki oleh siswa setidaknya merupakan upaya sadar seseorang yang dilakukan untuk menerima pengetahuan dan mengubah sikapnya tentang kearifan lingkungan menjadi lebih baik. Cara pandang agama-agama dan cara pandang kearifan local tentang lingkungan hidup akan menjadi pondasi utama dari penerapan kompetensi tersebut. Dengan kata lain nili-nilai agama akan menuntun pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terepleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak tersebut.

Dua dari lima agenda membangun keadaban ekologis yang ditawarkan oleh Zainal Alyy Musthofa (Dumas, 20/01/06) dalam artikelnya yang berjudul "Menggagas Teologi Keadaban Ekologis" menarik untuk kita dicermati. Dua agenda tersebut adalah gerakan ecoreligism atau paham penyelarasan nilai agama untuk penyelesaian masalah lingkungan dan penggalakan gerakan pendidikan lingkungan di sekolah. Kedua alternative ini sangat wajar untuk dielaborasi mengingat agama adalah tuntunan hidup yang mutlak sementara pendidikan adalah wahana formal penanaman nilai secara dini.

Pendekatan seperti ini merupaskan sumber baru dari sebuah khasanah lama pendidikan, tradisi kearifan local dan keagamaan Indonesia. Oleh karena itu upaya menggali pendekatan ini patut mendapat perhatian dengan kata lain bahwa internalisasi nilai-nilai keagamaan sangat mutlak diarusutamakan. Titik cerah kearah tersebut sangat diharapkan apalagi dunia konservasi memerlukan ahli multidisiplin untuk menyakinkan masyarakat bahwa melindungi alam bukan sekedar memberikan proteksi, tapi ada unsur ilmu pengetahuan dan relegius yang bisa digali didalamnya dan ada pula unsur mamfaat yang bisa diambil untuk kesejahteraan manusia baik secara umum maupun dalam bentuk ibadah.

Pendidikan Keagamaan 4

Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; "Sebuah Pilihan Sejarah"

Pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini nampaknya amat begitu diinsafi oleh para designer awal dan founding fathers bangsa ini, hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah UUD '45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.

Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.

Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya, terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren (Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).

Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya 'masyarakat informasi' (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan 'ala pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur'an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias "kuno", maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?

Pendidikan Keagamaan 3

Relevansi Pendidikan Agama Di Sekolah

RUU Sisdiknas yang akan disahkan menjadi UU Sisdiknas mendapat banyak catatan kritis dari berbagai pihak yang peduli dengan pendidikan di negara kita. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah masalah penekanan pada pendidikan agama dan ketaqwaan yang diberikan porsi terlalu basar, karena hal itu dikhawatirkan akan mereduksi hakekat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Memang, tujuan pendidikan lebih luas dan kompleks ketimbang hanya pembelajaran agama.

Pada konteks saat ini, dimana kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, dan kesadaran terhadap pluralitas masyarakat menjadi tuntutan, maka pertanyaan yang timbul adalah masih relevankah pengajaran agama pada lembaga pendidikan? Padahal kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pembelajaran agama di sekolah justru melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari agamanya, yang menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Kita juga sulit mengelak ketika agama dinyatakan sebagai determinan pemecah-belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Penulis melihat bahwa pendidikan agama hanyalah sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis.
Para pemuka agama dan guru-guru agama seharusnya malu ketika melihat begitu mudahnya kerusuhan massa terjadi begitu isu agama dihembuskan. Masyarakat kita menerima nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang dilakukan para pemimpin dan guru-guru agama tanpa melihat konteks yang plural, akibatnya begitu satu agama bersinggungan dengan agama lain gejolak mudah sekali terjadi, bagaimana pemahaman agama hanya menumbuhkan balas dendam bukannya mencintai sesama manusia.


Pembelajaran agama kerap kali mencerabut individu dari lingkungannya, peserta didik diajarkan bahwa orang seagama adalah saudara, padahal dalam kehidupan sehari-hari peserta didik bukan hanya bergaul dengan orang seagama, bagaimana posisi orang yang tidak seagama? Tentu saja ini hanyalah sebuah contoh kecil dan masih banyak contoh lain yang tidak menunjukkan relevansi pendidikan agama. Membebankan pembelajaran agama pada lembaga pendidikan juga rawan terhadap politisasi agama dimana agama hanya sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan melegitimasi kekuasaan melalui nilai-nilai keagamaan. Saat ini bukan pembenahan pembelajaran agama yang perlu diperhatikan tetapi merekonstruksi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Memang, etika dan moral adalah hal penting yang harus menjadi perhatian dalam muatan pendidikan, tentu saja etika yang menghargai pluralitas masyarakat, penghargaan terhadap hak asasi manusia, membentuk berpikir kritis terhadap sistem yang menindas, serta kontekstual dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kalau mau konsisten dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa maka pendidikan juga harus dibebaskan dari indoktrinasi yang pada akhirnya hanya menghasilkan truth claim serta membunuh pikiran-pikiran cerdas dan kritis.

Penulis agaknya sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Luthfi Assyaukanie (Kompas 15 Maret 2003) bahwa apa yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kita terlalu membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam membentuk moral bangsa. Padahal bagaimana korelasi kedua hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, bahkan saat ini menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Adalah ironis bahwa Indonesia adalah negara beragama yang menekankan pendidikan agama dalam sistem pendidikannya tetapi masuk dalam kategori negara terkorup. Para pemimpin kita tak diragukan lagi pehamannya terhadap nilai-nilai agama, tetapi perilaku yang ditunjukkan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut.

Kelompok fundamentalis Islam menyatakan bahwa kegagalan pengajaran agama membentuk moral di Indonesia adalah karena agama yang disampaikan dalam pendidikan saat ini telah jauh melenceng dari jalan yang benar seperti yang disampaikan oleh Allah dan Rasulnya, karena itu meskipun Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar tetapi memiliki moral terburuk. Anggapan ini sebenarnya tak lebih dari ungkapan frustasi melihat gagalnya pengajaran agama di lembaga pendidikan. Betapa tidak, cobalah kita berkaca pada negara lain yang lebih sekular, ternyata tata kehidupan mereka lebih tidak korup, lebih bersih dan ber-etika.

Tidaklah berlebihan apa yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie bahwa kita tidak bisa membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam masalah moralitas dan etika. Masalah moralitas dan etika seharusnya bukan hanya termuat pada pelajaran agama saja tetapi pada semua mata pelajaran, mata pelajaran agama seharusnya menjadi mata pelajaran pilihan saja yang boleh diambil atau tidak oleh peserta didik. Penulis berpendapat bahwa agama adalah wilayah privat, karena itu pembelajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau kita benar-benar ingin mewujudkan tata kehidupan yang demokratis maka mestinya kebebasan yang dimiliki masyarakat bukan hanya kebabasan untuk memilih agama tetapi juga kebebasan untuk tidak memilih agama.

RUU sisdiknas yang diusulkan oleh DPR dalam salah satu pasalnya menyebutkan "setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya...." Seharusnya diubah diperluas dengan menyebutkan bahwa peserta didik berhak untuk memilih mangambil atau tidak palajaran agama di suatu lembaga pendidikan, begitu juga lembaga pendidikan tidak harus menawarkan pelajaran agama.

Sudah saatnya lembaga pendidikan mejadi sebuah lembaga yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari sistem yang menindas, membebaskan manusia dari doktrin yang justru mencabut dirinya dari realitas. Penulis tidak bermaksud untuk merendahkan peran dan posisi agama dalam kehidupan masyarakat, tetapi paling tidak menggugah kita untuk merefleksikan kembali apa yang kita harapkan dan apa yang kita dapatkan dari pembelajaran agama selama ini, dan pada gilirannya kita dapat menimbang apakah mewajibkan pendidikan agama pada lembaga pendidikan (sekolah) masih relevan?

Pendidikan Keagamaan 2

Mengurai simbol-simbol ajaran agama

"Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa banyak jalan menuju Ka'bah? ....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beranekaragaman dan sanagat tidak terbatas jumlahnya; namun apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan".

Pengantar

Agama dalam perjalanan sejarah manusia selalu dijadikan tolak ukur bagi nilai-nilai hidup seseorang dalam masyarakatnya sehingga segala aspek yang dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama baik dan buruk akan selalu disandarkan pada agama yang dianutnya.

Sementara itu setiap pemeluk agama sesungguhnya tidak ada yang instant, konstan menjadi manusia yang sepenuhnya taat menjalani agamanya baik dalam tataran teoritis maupun aplikatif, karena beragama sendiri adalah sebuah upaya untuk menjadi dalam arti berproses secara aktif untuk terus memahami ajaran agama yang diyakininya yang pada akhirnya akan memuarakan pemeluknya untuk menjadi orang yang beragama dengan A kapital dan bukan sekedar beragama.Hasil dari proses menjadi inilah kelak yang akan mengantar setiap pemeluk agama untuk dapat bersikap laku dalam kehidupannya. Demikian halnya dengan pengajaran agama yang juga merupakan sebuah proses, yaitu upaya untuk menjadikan siswa didik untuk terus menerus menerima ajaran agamanya yang pada muaranya diharapkan nilai-nilai ajaran agama tersebut dapat terinternalisasi dalam segala aspek laku kehidupannya.

Pengibaratan senada dapat pula diberikan kepada petani yang tidak dapat denagn instant memetik hasil panennya tapi dibutuhkan beragam upaya keteklunan; kesabaran dan ketelitian dalam merawat tanamannya. Dlam proses pendidikan pengibaratan di atas juga berlaku bagi pengajar agama yang tidak hanya cukup mentransfer dan menyuapi anak didik dengan seperangkat pengetahuan sesuai wawasan agama yang dimilikinya, tapi lebih dari itu bagaimana ia dapat memformulasikan wawasan keagamaannya dengan wawasan keagamaan siswa didiknya bersesuaian dengan tingkat usia mereka. Sehingga seorang pengajar diharapkan dapat memberikan sebuah pendekatan pengajaran yang lebih kreatif dan aktif bagi siswa didiknya. Dengan demikian pendekatan pengajaran agama tidak lagi bersifat eksklusif -doktrinal,dimana disajikan denagn kaku dan rigid tanpa membuka ruang nalar kritis bagi siswa sebagaiman praktek yang berlangsung di beberapa lembaga pendidikan selama ini.

Sebagai ilustrasi pendekatan pengajaran tersebut dapat dipaparkan di sini mengenap pengajaran dalam tema :thaharah; wudhu dan tayammum serta materi salat denagn sub-sub pengajarannya; syarat wajib, syarat sah, rukun dan sunnah-sunnahnya yang selalu diterima siswa didik di setiapa jenjang pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi baik swasta maupun negri. Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurchalish majid memang terdapat beberapa ironi yang dialami bangsa kita yang sering mengklaim sebagai bangsa yang religius, toleran dan sopan.Tetapi jika memang betul kita adalah bangsa yang religius, pertanyaan yang zselalu terlintas ada;ah mengapa jkecurangan terus merajalela di negeri kita sehingga mendapatkan reputasi sebagai negara yang paling korup di muka bumi. Nampaknya memang terdapat anomali-anomali yang agak sulit diterangkan.

Terkait dalam kontek ini pula jika kita menggunakan analogi semakin sering sebuah pengajaran agama dibeerikan bahkan dipraktekkan maka akan semakin baik pula bagi siswa didik mengamalkan ajaran agamanya tersebut. Dan merupakan keniscayaan bagi negara ini memiliki tatanana prilaku hidup pribadi dan bernegara yang adail, damai dan sejahtera karena nilai-nilai agam sudah terinternalisasi, mendarah daging sejak usia dini yang dimiliki warga negaranya yang beragama.Namun mencermati ilustrasi yang kontradiktif di atas antara teori dan praktek tentunya kita tidak dapat menyalahkan kurikulum yang terus berulang tetapi tetap belum menghasilkan kesadaran beragama diantara penganutnya.

Sesungguhnya ketika kita mencermati ilustrasi dari permasalahan di atas, langkah utama yang perlu kita sikapi sekarang ini adalah bagaiman kita berupaya aktif mengevaluasi diri atas pengajaran mekanistik yang selam ini kita berikan.

Saatnya kita amulai mencoba menekankana pengajaran agama pada aspek nilai (values) nilai-nilai kehidupan itu sendiri dan buka pada sisi formalistik keagamaan saja.

Langkah evaluasi selanjutnya dalam proses belajar mengajar adalah bagaiman kita mencoba memberikan ruang lebih kepada siswa untuk berani mengkritisi ajaran agamnya dalam wilayah yang bersifat normatif maupun praksis.Dengan demikian diharapkan siswa terlatih untuk mensikapi perbedaan dalam kemajemukan, baik perbedaan ideologis, sosial budaya dan agama.Meski pada tataran ini memang dibutuhkan kebesaran jiwa dan keluwasan wawasan guru sehingga tidak dengan mudah memberikan pelabelan dosa dan anacaman neraka; nalar kritis yang mereka tawarkan.Dalam kondisi dan ruang kebebasan seperti inilah diharapkan siswa akan bertumbuh menjadi manusia yang terbuka, toleran dan humanis yang tanggap terhadap masalah kebenran dan kepalsuan yang ada di masyarakatnya, yang muranya akan mengantarnya pada pengalaman kebertuhanan dalam perjalanan panjang sekolah kehidupan.

Pendidikan Keagamaan 1

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

Pernah ditulis di Jurnal At Tarbawi Jurusan Tarbiyah STAIN SURAKARTA

"Abstract : In reality of Religion Education fail in to develop the diversity awareness of tribe, religion, race and inter-communities (SARA). This Condition is more critic that religion teacher have never been involved in the sensitivity practice of diversity. As a result in class, religion teacher unable to internalize of tolerance values to pupil. Especial source of Islam (Qur'an and Hadis) have taught since ago of how material and method which can develop the understanding the tribe, religion, race and inter-communities (SARA). But its problem exactly discourse of development understanding the SARA from the especial source not yet implementation by Islamic Religion Teacher."

A. Pendahuluan

Refleksi tentang lemahnya kepekaan masyarakat untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk, menurut GBHN 1999, diantaranya disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Pernyataan di atas disepakati sebelumnya oleh Bachtiar Effendy (2001:276) yang menyatakan bahwa tak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama. Senada dengan dua pernyataan di atas, Presiden Megawati (Solo Pos, 18 Mei 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama justru mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan sehingga toleransi sangat rendah. Kritik ini memang tidak dapat dipungkiri, karena dalam pendidikan agama selama ini lebih mementingkan ranah kognitif yang dangkal, yaitu sebatas hafalan-hafalan teks tanpa ada pemaknaan realitas. Teks kering inilah yang menggiring para siswa hanya sekedar menjadi robot yang tidak bisa memaknai kehidupan riil di masyarakatnya. Mereka memberlakukan masyarakat seperti yang dibaca dalam teks, yang dilepaskan dari asbab al nuzul (sebab-sebab turun) maupun asbab al wurudl-nya (sebab-sebab diucapkan).

Selain itu pendidikan norma lebih sering mementingkan bagaimana membuat jawaban-jawaban legitimasi dari pertanyaan yang sering muncul dalam sebuah kegiatan keagamaan, termasuk dalam pengajaran yang kental bermuatan etik. Jawaban semacam ini menjadikan sekolah keagamaan, menurut Stanton (1994:233) gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan serta kreativitas keilmuan. Sedikit-sedikit dinyatakan haram dan tidak boleh. Akibatnya banyak terjadi kebekuan dalam beragama dan pemeluk agama kurang toleran terhadap pemeluk agama lain maupun berbeda mazhab/aliran yang dianut. Begitu pula budaya dialog antar wacana, buku di lawan dengan buku (contoh kasus wacana yang dibangun Ibnu Rusyd dengan Al Ghazali, antar Imam Mazhab, atau Imam Syafi'i dengan Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadiid) tidak berkembang dalam masyarakat kekinian dan kedisinian dari pemeluk agama. Umat bereaksi sangat keras dengan cara meminta pada penguasa untuk melarang peredaran buku atau membakar buku yang tidak disepakatinya. Perilaku kontraproduktif inilah yang justru bisa menghancurkan peradaban manusia.

PAUD 5

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Mar 6, '08 9:22 AM
for everyone

Buat yang mau punya anak dan yang sudah punya anak... (Sebuah Bingkisan untuk Sahabat MPku...)

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

By : Dra. Nani Susilawati (Staf Pengajar FISIP USU)

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.

LANDASAN YURIDIS

  1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
  2. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C

’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)

’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’

4. UU No 20/2003 pasal 28

1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.

3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA

Komitmen Jomtien Thailand (1990)

’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’

Deklarasi Dakkar (2000)

’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’

Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)

‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

PENTINGNYA PAUD

1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.

2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.

3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.

5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.

KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI

Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.

Faktor Lingkungan

  1. Lingkungan dalam kandungan
  2. Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.

MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI

  1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
  2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
  3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
  4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
  5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya

PAUD 4

Kenapa Perlu Belajar Sejak Usia Dini ?

**************************************************************************************************

PENDIDIKAN ANAK USIA BAWAH LIMA TAHUN

PALING PENTING DAN PALING MENENTUKAN KEHIDUPAN SESEORANG

Usia di bawah lima tahun (balita) adalah usia yang paling kritis atau paling menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir seluruhnya terjadi pada usia di bawah lima tahun. Kalau seseorang sudah terlanjur menjadi pencuri atau penjahat, maka pendidikan Universitas bagi orang tersebut boleh dikatakan tidak berarti apa-apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua susah dibengkokkan.

Anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten (potential intelegence) yang luar biasa. Namun pada umumnya para orangtua dan guru hanya bisa mengajarkan sedikit hal pada anak-anak. Sesungguhnya anak-anak usia muda tidak “complicated” (ruwet) dalam belajar, tetapi orangtua atau guru yang bermasalah. Pada umumnya kita selalu menyalahkan anak-anak apabila tingkah laku mereka tidak seperti yang kita inginkan. Hal ini lebih banyak disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap perkembangan jiwa anak, sehingga kita sering memperlakukannya dengan tidak/kurang tepat.

Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa dan kemampuan untuk menyerap informasi sangat tinggi. Kebanyakan orang tidak mengenali dan memahami kemampuan 'magic' yang ada pada anak-anak. Mereka hanya bisa berkata, "Saya tahu anak-anak belajar lebih cepat", tetapi mereka tidak tahu seberapa cepat anak-anak bisa belajar. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan orang tua dan guru-guru maka potensi luar biasa yang ada pada setiap anak sebagian besar tersia-siakan.

Umumnya orang siap mengorbankan waktu bertahun-tahun dan uang berjuta-juta rupiah untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi ; untuk apa ? --- untuk mendapatkan sedikit tambahan intelegensi, karena sedikitnya kemampuan sel-sel otak yang tersisa. Sebaliknya orang kurang memperhatikan pendidikan anak-anak pada usia muda. Anak-anak usia belia memiliki bermilyar-milyar sel-sel syaraf otak yang sedang ber-kembang dan memiliki kemampuan yang dahsyat….serta daya memory yang kuat. Maka pendidikan yang me-nanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (pengembangan intelegensi/kecerdasan, karakter, kreativitas, moral, dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan pada anak-anak sejak usia muda.

Oleh karena itu Pendidikan Pre-School dan Taman Kanak-Kanak tidak boleh dianggap sepele dan diabaikan. Bahkan pendidikan bayi sejak usia nol tahun (baru lahir) atau bahkan sejak bayi masih dalam kandungan sudah saatnya dikembangkan. Guru-guru dan fasilitas yang terbaik semestinya diprioritaskan pada lembaga pendidikan kanak-kanak. Dedikasi yang tulus dari guru-guru dan dukungan sepenuhnya dari orangtua anak akan menjamin keberhasilan pendidikan anak-anak.

Kerjasama yang baik antara guru dengan orang tua anak sangat diperlukan.

PAUD 3

DETEKSI DINI TERHADAP ANAK-ANAK BERBAKAT


Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.

Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:

  • Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
  • Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
  • Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
  • Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
  • Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.

Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka "cepat menjadi pandai." Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan "perilaku aneh" dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.



Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.

Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi "kehausan" akan informasi.

Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.


Pelayanan bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara "lompat kelas", artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.

2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.

3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.

4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.



Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.

Di dalam keluarga pun oran gtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.

PAUD 2

Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Perpustakaan



Written by Romi Febriyanto Saputro
Monday, 29 May 2006
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses
tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa.
Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama
tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan
menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan
karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan
akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya
sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis
rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu
melipatgandakan kemampuan otak 5 hingga 10 kali kemampuan sebelumnya.

Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam
memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka
dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi "ala
kadarnya".

Sampai saat ini diperkirakan 80 persen
anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia
dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD,
anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh
ancaman gizi buruk. Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta
anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut
Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko
kehilangan IQ hingga 10 - 13 poin. Ini berarti
bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.

Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa
berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan
dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah
ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung
menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk
menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa
titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah
merasa 'legaaa'.

Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK 'unggulan dan terpadu';. Bagi masyarakat
'pas-pasan'; jangan harap bisa menyekolahkan
anaknya di TK 'unggulan dan terpadu'; ini. Di
kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang
seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti
Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa
lebih.

Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang 'overdosis' terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji
kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa
syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis.
Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot
mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua
menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari
baca dan tulis.

Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.

Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan 'semangati jangan bebani'.

PAUD Berbasis Perpustakaan

Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan
khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang
terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi
perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat.
Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk
menumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak
bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang
cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual
mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia
yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai
prioritas nasional dan global.

Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas
perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di
ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini
memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan
emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik,
puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat
bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi
sosialnya.

Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar,
papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang,
kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini
sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata
dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis
lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring
kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun
lingkaran.

Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar
seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar.
Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian
bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan,
ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang
dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan
tegas.

Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat
dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan,
gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar
anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita
bergambar.

Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di
ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng.
Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang
hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi
maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam
mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara
pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat
dilakukan oleh televisi maupun VCD.

Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat,
cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak
yang mencari dan belajar 'membaca'sendiri
buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara
tradisi lisan dan tradisi baca.

Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki
beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi
masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK
dapat memanfaatkan layanan ini.

Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses
oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke
bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan
ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada
batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di
perpustakaan.

Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan
bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan
sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di
dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap
membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaan yang
membosankan melainkan menyenangkan.