SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat.
Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education. Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang. Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya.
Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan. "Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar. Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan. Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun. Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar