1. | Satuan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus jenjang : TKLB, SDLB, SMPLB, SMALB, SMKLB, yang meliputi:
Satuan Sekolah Luar Biasa disebut juga sistem Segregasi yaitu sekolah yang dikelola berdasarkan jenis ketunaan namun terdiri dari beberapa jenjang. Selain SLB, ada juga SDLB yang melayani berbagai jenis ketunaan pada jenjang SDLB. Tetapi sejak tahun 2003 dengan SK Kepala Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat, SDLB diubah status menjadi SLB. Tujuannya agar penyelenggaraan Sekolah lebih efektif, efisien dan menghindarkan Drop Out serta mempercepat penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Sekolah Terpadu/Integrasi
| ||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Pendidikan Inklusif
| ||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Program Akselerasi (Aceleration Program) dan Keberbakatan
|
Senin, 16 Maret 2009
Pendidikan Layanan Khusus 5
Pendidikan Layanan Khusus 4
Mencari keberadaan anak berkebutuhan khusus untuk memfasilitasi pendidikannya
Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa.
Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak.
Angka dimaksud tentunya cukup signifikan menjadi sasaran perluasan dan pemerataan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat guna menyumbang APM SD/MI/Paket A yang saat ini telah mencapai 94,90 % dan APM SMP/MTs/Paket B mencapai 92,52% (sumber: naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan Harkitnas Mei 2008) menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008.
Kebijakan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa merupakan realisasi terhadap amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya”.
Kemudian ditindaklajuti dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) bahwa ”warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”, dan pasal 7 ayat (2) bahwa ”Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.
Atas dasar ketentuan di atas, maka dalam rangka menyukseskan program wajib belajar dan merealisasikan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat perlu ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar juga disemangati oleh seruan international Education Far All (EFA) dan dikumandangkan oleh UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di DAKAR, Senegal tahun 2000.
Oleh karena itu pemerintah memberi peluang kepada anak berkelainan/cacat melalui pendidikan secara segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB dan melakukan terobosan dengan memberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD/MI,SMP/MTs/SMA/MA dan SMK/MAK) yang disebut "Pendidikan Inklusif (inclusive education)”.
Namun di luar dugaan keberadaan anak cacat tersebut masih harus terus dicari di bumi pertiwi ini. Menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusif (sumber data: Direktorat PSLB).
Dengan demikian masih terdapat 233.199 (72,65%) anak cacat yang tinggal di desa, kecamatan dan kabupaten/kota belum mengenyam pendidikan. Oleh karena itu upaya pemerataan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Banyak penyebab mengapa jumlah anak cacat yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain:
- Orang tua cenderung menyem-bunyikan keberadaan anaknya yang cacat di rumah, sehingga tidak mempedulikan lagi pendidikan anaknya. Hal ini dilakukan karena keluarganya malu jika terbuka aibnya, kendati mampu membiayai sekolah. Perilaku tersebut tentunya bertentangan dengan UUD 1945 (amande-men) pasal 31 ayat (1),(2) dan UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1), (2), pasal 7 ayat (2), pasa 32 ayat (1).
- Orang tua masih menerapkan paradigma lama bahwa menyekolahkan anak cacat kurang menguntungkan dipandang dari aspek ekonomi. Pada hal pendidikan merupakan investasi untuk masa depan anak, melalui proses pengajaran, penyebarluasan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga, serta penanaman nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidupnya.
- Kondisi ekonomi orang tuanya memang benar-benar miskin, sehingga tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya. Akibatnya keluarga mengambil keputusan hanya memprioritaskan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan anak cacat tersebar di desa dan kecamatan yang kemungkinan termasuk kategori daerah miskin yang dapat memicu bertambahnya penderita gizi buruk, yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kecacatan anak dalam kandungan ibunya. Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk penderita gizi buruk mencapai 4,42 juta jiwa.
- Belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, di sisi lain anak cacat tertentu memerlukan pendampingan orang tuanya ke sekolah. Hal ini menimbulkan problema baru yakni biaya transportasi menuju sekolah sangat tinggi yang memberatkan beban orang tuanya.
- Keberadaan anak cacat belum dapat diterima sepenuhnya belajar bersama dengan anak biasa, karena anak biasa takut tertular perilaku atau terganggu oleh faktor higiennitas kehidupan seharĂ-hari di kelas maupun dalam bermain.
- Upaya pemenuhan hak azasi anak cacat untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkelainan di seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air.
- Biaya satuan pendidikan bagi siswa anak berkelainan/cacat relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya satuan pendidikan untuk siswa biasa. Menurut hasil riset hal tersebut karena disamping anak cacat perlu fasilitas pendidikan pada umumnya, masih memerlukan pula alat pendidikan khusus, alat bantu khusus dan lainnya.
Pertama, penjaringan data anak cacat yang melibatkan berbagai unsur, antara lain: Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Peme-rintah Daerah Kabupaten/ Kota/ Provinsi, BPS Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Kantor Wilayah Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Agama, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi, Forum Komunikasi dan Asosiasi Peduli PLB serta LSM lainnya.
Kedua, pengembangan Sistem Informasi Manajemen Direktorat PSLB yang memiliki jaringan kerja dengan Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di seluruh provinsi. Melalui SIM ini diharapkan masing-masing dapat mengakses data dan informasi PLB secara timbal balik untuk kepentingan pembinaan sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Ketiga, pembangunan unit sekolah baru (USB) di kabupaten-kabupaten yang belum tersedia faslitas SLB, utamanya kabupaten yang telah menyiapkan lahan kosong yang memadai. Hal ini dipastikan dapat menampung anak cacat di desa dan kecamatan pada kabupaten yang bersangkutan. Jumlah SLB pada tahun 2006/2007 mencapai 1.569 sekolah, dimana 80,75% diantaranya SLB swasta (sumber data: Direktorat PSLB).
Keempat, memperluas implementasi program penyelenggaraan pendidikan inklusif (inclusive education), sehingga anak cacat yang tinggal di desa,kecamatan, kabupaten/kota memiliki peluang atas haknya untuk belajar bersama dengan siswa lain di sekolah reguler terdekat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Negeri ini pada tahun 2006/2007 mencapai 814 sekolah (TK,SD, SMP,SMA,SMK) yang berhasil menampung 15.181 anak cacat (sumber data: Direktorat PSLB).
Kelima, mensosialisasikan pentingnya pendidikan segregasi dan pendidikan Inklusif kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan, yang diharapkan dapat mengubah paradigma orang tua untuk segera memberikan peluang pemenuhan dan penyamaan hak azasi anak cacat mengenyam pendidikan, sehingga anak cacat dapat mengaktualisasikan potensi kecerdasan dan bakatnya demi masa depan.
Keenam, pembangunan ruang kelas baru (RKB), pembangunan aksessibilitas anak cacat menuju sekolah inklusif dan sekolah segregasi, subsidi beasiswa cacat yang miskin, biaya operasional sekolah (BOS), melengkapi alat pendidikan khusus, alat bantu khusus, menyediakan ruang sumber, bengkel, alat keterampilan, alat olah raga, perpustakaan, mengalokasikan dana riset terkait dengan penelitian PLB dan lainnya.
Ketujuh, bekerjasama dengan Ditjen PMPTK membahas, mengusulkan untuk menyiapkan tenaga pendidik sebagai guru khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah segregasi. Guru khusus sangat berperan untuk mengajar, membimbing, menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar di sekolah, sehingga kemandirian sekolah dapat dijamin. Jumlah kepala sekolah dan guru di SLB sampai dengan tahun 2006/2007 mencapai 16.961 orang (data: Direktorat PSLB)Pendidikan Layanan Khusus 3
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.
Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.
Pendidikan Layanan Khusus 2
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.
Pendidikan Layanan Khusus 1
Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana
Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).
Pendidikan Khusus 5
Pendidikan Khusus 4
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.
Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah a
Pendidikan Khusus 3
Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?
Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.
Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.
Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.
Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Pendidikan Khusus 2
Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak |
Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua. Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini. Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola. Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini. Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made. Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif. Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu. Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana. Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan. Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian. Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya. |
Pendidikan Khusus 1
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.
Pendidikan keagamaan 5
Kurangnya Pendidikan Agama Picu Kekerasan
04-May-2007
Pendidikan menjadi kunci utama pembentukan kepribadian anak. Pertambahan usia anak memiliki konsekuensi pada perubahan proses pendidikan yang mereka terima. Oleh sebab itu, bertambah usia anak dan berubahnya perilaku mereka harus disertai pendidikan yang tepat sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidikan agama menempati posisi yang vital menyertai proses pendidikan anak. Kurangnya pendidikan agama dapat memicu tindak kekerasan. Berikut perbincangan Reporter CMM Yulmedia dengan Hj. Nidalia Djohansyah Makki. Anggota Komisi II DPR RI:
Tindak kekerasan marak di mana-mana. Perilaku tersebut ternyata merambah pada lembaga pendidikan, IPDN misalnya. Mengapa demikian?
Peristiwa ini telah membuka mata kita, mengetuk pintu relung hati hati kita yang paling dalam, apakah dari bangku pendidikan yang ada sekarang ini ajaran yang menyangkut moral, pendidikan agama serta tuntunan yang menjunjung tinggi bahasa nurani dan kemanusiaan masihkah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah yang bakal melahirkankan generasi-generasi untuk memimpin bangsa ini selanjutnya? Karena kita tahu, manusia tidak bisa hanya disuguhkan ilmu pengetahuan an sich (semata), melainkan juga perlu diimbangi dengan suguhan-suguhan untuk mengisi ruang-ruang spiritual yang ada pada diri masing-masing kita, seperti nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Intinya, ajaran-ajaran atau pendidikan berlandaskan keagamaan mesti selalu ada.
Berbicara pendidikan agama, faktor apa yang dapat mempengaruhi perkembangan keagamaan kita?
Perkembangan keagamaan anak, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di luar sekolah termasuk dalam keluarga. Kedua, faktor makanan yang disajikan orangtua untuk anak. Al-Qur-’an mengisyaratkan agar memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik (halalan thayyiba). Makanan yang disediakan orang- tua adalah bahan dasar yang akan mengalir dalam darah anak. Jika makanan itu halal dan baik, maka akan baik pulalah akibatnya pada masa depan dan kehidupan anak. Ketiga, faktor doa yang menjadi kekuatan spiritual bagi perkembangan anak. Secara sederhana, doa adalah suatu harapan yang diwujudkan dalam ucapan dan perilaku. Ucapan buruk orangtua kepada anaknya bisa menjadi doa. Demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya, hindarilah kata-kata yang berisi laknatan kepada anak. Berikan ucapan dan kata-kata yang mulia untuk anak-anak. Tunjukan perilaku yang terpuji di hadapan anak. Hindari percekcokan di depan anak.
Dalam membimbing perkembangan keagamaan sang anak apa saja yang mesti diperhatikan?
Kita semua dilahirkan dalam keadaan suci. Lahir bersih tanpa noda apapun. Dalam al-Quran dijelaskan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS an-Nahl [16]: 78). Sejak lahir itulah setiap individu mulai dihiasi warna-warni kehidupan, sehingga selama proses perawatan ini pula, tumbuh kesadaran cinta kasih sebagai fitrah yang dianugerahkan-Nya. Membimbing perkembangan keagamaan anak seyogyanya dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar shalat dan mengaji, belajar berbuat kepada orangtua dan sesama manusia. Mendekatkan anak pada agama dapat pula dilakukan dengan mengondisikannya dalam ruang kehidupan yang serba teratur dengan tetap memelihara kebebasan dan kreativitasnya. Bimbinglah dan perkenalkan anak pada lingkungan yang religius. Ciptakan suasana rumah dalam nuansa yang religius, pilihlah lingkungan sosial yang memungkinkan anak belajar beragama, serta kondisikan anak untuk memilih sendiri sekolah dengan warna agama yang lebih dominan.
Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan keagamaan pada anak?
Keteladanan merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Lebih-lebih pada usia yang penuh diwarnai dengan perilaku meniru. Anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtua serta orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, didiklah anak atas dasar kasih sayang, penuh perhatian dan pengertian, serta dalam suasana dan sikap yang penuh kesabaran. Pesan-pesan al-Quran dalam memberikan pendidikan salat kepada anak, secara implisit sekaligus memaparkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Salat juga mengajarkan kebersihan, sebab salah satu syarat dalam melaksanakan salat adalah bersih dari hadats dan najis. Dengan salat juga kita dapat melatih anak menutup aurat dan menanamkan kesadaran jenis kelamin. Sebab salat mensyaratkan menutup aurat, dan ketika berjamaah terikat dengan ketentuan imam dan makmum. Mendidik anak salat juga sekaligus mendidik anak belajar membaca al-Quran, sebab dalam pelaksanaan salat terdapat kewajiban membaca surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya dalam al-Quran. Lebih penting lagi adalah membina dan membimbing anak dalam hidup berjamaah. Inilah, antara lain, prinsip pendidikan yang integratif, yang akan membawa anak didik memasuki dunia komprehensif.(CMM)
Pendidikan keagamaan 4
Kenalkan Agama Sejak Dini pada Anak
Dalam kehidupan manusia harta benda dan anak-anak kita merupakan karunia Ilahi dan sebagai ujian atau percobaan (fitnah), apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan sudah benarkah kita mendidik anak-anak tersebut. Yang perlu kita ketahui dalam kehidupan mansuia bahwa harta dan anak-anak merupakan unsur utama untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan duniawi. Karena harta dan anak adalah hiasan hidup duniawi, maka
"Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga, saling berlomba banyak dalam harta dan anak ..."
(QS. Al-Hadid, 57:20).
Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinannya dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu apabila kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pesan dan amanat Allah.
Makna agama bagi kita adalah agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti sholat dan membaca do'a saja. Akan tetapi agama lebih dari itu, yaitu agama mengatur keseluruhan tingkah laku manusia demi memperoleh ridla Allah. Agama dengan kata lain, agama meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentu keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Alllah dan bertanggung jawab secara pribadi di Hari Kemudian (Kiamat). Hal tersebut diatas merupakan pernyataan kita dalam do'a pembukaan shalat kita (do'a iftitah), bahwa shalat kita, darma bakti kita, hidup kita, mati kita dan semua adalah untuk atau milik Allah seru sekalian alam.
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk prtumbuhan total seorang anak didik. Dan tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya konvensional dalam masyarakat. Karen itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Oleh Karena itu pendidikan agama keagamaan dalam keluarga tidak hanya melibatkan orang tua saja, akan tetapi seluruh keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam kelaurga. Peran orang tua tidak hanya barupa pengajaran, tetapi juga berupa peran tingkah laku, ketauladanan dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Seperti pepatah mengatakan bahwa pendidikan dengan bahasa perbuatan (perilaku) (tarbiyah bi lisan-I'l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap dari pada pendidikan dengan bahasa ucapan (tarbiyah bi lisan-il-maqal). Karena itu yang penting adalah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibdah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita semua.
Rasa taqwa kepada Allah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Allah lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab menurut al-Qur'an hanya mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga bertaqwa kepada-Nya. Melalui hasil perhatian, pengamatan, dan penelitian kita terhadap gejala alam dan social kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (penggunaan teknologi), tetapi dapat membawa kita kepada keinsyafan Ketuhanan yang mendalam, melalui penghayatan keagungan Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaannya.
Keinsyafan merupakan unsur yang teramat penting dalam menumbuhkan rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan dalam keluarga harus pula meliputi hal-hal yang nota bene diperintahkan Allah dalam al-Qur'an (sesuai dengan ajaran-Nya). Wujud nyata atau substansi jiwa Ketuhanan itu terdapat dalam nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada anak-anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Diantara nilai-nilai itu yang sangat mendasar adalah:
- Iman
Sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah. - Islam
Sikap pasrah kepada-Nya dengan menyakini bahwa papun yang datang dari Allah tentunya membawa hikmah kebaikan, yang kita (dlaif) tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya. - Ihsan
Kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimana pun kita berada. - Taqwa
Sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berbuat hanya sesuatu yang diridlai Allah dengan menjauhi dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai Allah. - Ikhlash
Sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah dan dan bebas dari pamrih lahir dan batin tersembunyi maupun terbuka. - Tawakkal
Sikap senantiasa bersandarkan diri kepada Allah dengan penuh harapan dan dengan keyakinan kita pula bahwa Allah akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik bagi kita. - Syukur
Sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang dianugrahkan Allah kepada kita. - Sabar
Sikap tabah mengahadapi segal kepahitan hidup, besar atau kecil, lahir atau batin, karena keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Tentunya masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang diajarkan dalam islam. Biasanya orang tua atau pendidik akan dapat mengembangkan nilai-nilai keagamaan lainnya sesuai dengan perkembangan anak dan keadaan.
Dimensi hidup manusia yang lain adalah mengembangkan rasa kemanusian kepada sesama. Keberhasilan pendidikan agama bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama (ritual-ritual). Justru yang lebih penting adalah sejauhmana nilai-nilai keagamaan itu dalam jiwa anak-anak diwujudkan dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari, sehingga dapat melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Sekedar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan keagamaan kepada anak, mungkin nilai-nilai akhlak berikut ini dapat dipertimbangkan oleh semua orang tua untuk ditanamkan kepada anak-anak, yaitu:
- Silaturrahmi
Pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, tetangga dan masyarakat. - Persaudaraan
Semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesame kaum beriman (Ukhuwah Islamiyah). - Persamaan
Pandangan bahwa sesama manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya adalah sama dalam harkat dan martabat. - Adil
Wawasan yang seimbang dalam memandang menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang. - Baik sangka
Sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia. - Rendah hati
Sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dengan perbuatan yang baik, yang itupun hanya Allah yang menilainya. - Tepat janji
Salah satu sifat orang yang benar-benar beriman adalah sekip selalu menepati janji bila membuat perjanjian. - Lapang dada
Sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya. - Dapat dipercaya
Salah satu konsekuensi iman adalah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. - Perwira
Sikap penuh harga diri namun tidak sombomng dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongannya. - Hemat
Sikap tidak boros dan tidak pula kikir dalam menggunakan harta, melainkan sedang antara keduanya. - Dermawan
Sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia terutama mereka yang kurang beruntungdan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya dengan mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan Allah kepada mereka.
Nilai-nilai keagamaan di atas kiranya dapat membantu mengindetifikasi agenda pendidikan keagamaan dalam rumah tangga yang lebih konkrit dan operasional. Sekali lagi pengalaman nyata orang tua dan pendidikan akan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak.
Pendidikan keagamaan 3
Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.
“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.
Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.
“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.
Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)
Pendidikan keagamaan 2
Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius |
YOGYAKARTA : Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. |
Pendidikan keagamaan 1
Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius
YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)