krisis keuangan global, berdampak ke berbagai sektor.
Beberapa perusahaan berskala nasional telah siap-siap untuk mem-PHK (pemutusan hubungan kerja) karyawannya. Bahkan perusahaan berskala internasional seperti GM (General Motor) telah pula mengajukan pemohonan bangkrut.
Indonesia mau tidak mau harus menerima dampak krisis yang penanggulangannya harus secara bersama-sama. Pada kesempatan ini saya menawarkan agar peranan pendidikan nonformal didayagunakan untuk mengatasi dampak krisis pada masyarakat ekolem.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pendidikan dibagi ke dalam tiga katagori: informal adalah pendidikan di rumah tangga; formal merupakan pendidikan yang berjenjang dari SD hingga perguruan tinggi; sedangkan nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti life skill. Sebagai sebuah sistem, pendidikan informal dan nonformal termasuk dalam katagori Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Hak memperoleh pendidikan tertera di dalam Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 31); salah satu hak warga negara yakni mendapatkan pendidikan atau pengajaran. Sebagai hak, negara (melalui pemerintah) telah berupaya mewujudkannya.
Bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Artinya, tidak semua orang di Indonesia ini bercita-cita ataupun mampu meraih cita-cita sebagai sarjana: S1, S2, S3 dan lainnnya.
Berbagai kemungkinan dapat menyebabkan peserta didik tak dapat melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang memang karena ketidakmampuan orangtua - terutama saat krisis keuangan global saat ini, ada karena bencana alam, dan lainnya. Justru itu, program pendidikan luar sekolah (PLS) yang beorirentasi life skill seperti bidang komputer, jahit-menjahit, montir, bahasa Inggris serta lainnya sangat besar manfaatnya buat kehidupan.
Apalagi keahlian-keahlian seperti komputer dipadu dengan kemampuan berbahasa asing, seperti bahasa Inggris maka peluang kerja akan semakin terbuka lebar. Saat ini - sesuai dengan tuntutan globalisasi - mengandalkan ijazah saja (bahkan S1) tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kecapakan hidup (life skill) yang didapat dari lembaga pendidikan nonformal.
Program life skill sangat boleh jadi akan menjadikan pesertanya lebih punya kecakapan dibanding S1 jurusan informatika komputer, misalnya. Bayangkan, kalau tiga bulan terus-menerus belajar (praktik) tentang informatika komputer, rasanya wajarlah kalau pesertanya menguasai apa-apa yang diajarkan (dilatihkan).
Dewasa ini, kegiatan life skill sangat cocok diterapkan. Mengapa tidak, jumlah angkatan kerja yang menganggur cukup krusial untuk jadi perhatian serius. Angkatan kerja yang menganggur di Indonesia melampaui standar ILO (International Labour Organization), 20 persen dari jumlah penduduk. Sementara, angka pengangguran di Indonesia sudah melampaui 28 persen. Ini berbahaya
Dengan upaya-upaya pelatihan life skill, niscaya angkatan kerja kita punya keterampilan yang siap pakai dan profesional, sehingga tidak menganggur atau menjadi tenaga kerja murahan.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang di dalamnya ada life skill merupakan usaha sadar untuk menyiapkan, meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing. Dengan demikian akan mampu merebut peluang yang tumbuh dan berkembang serta mengoptimalkan sumber-sumber di lingkungan masing-masing.
Pendidikan nonformal merupakan suatu proses pendidikan yang sasaran, pendekatan, dan keluarannya berbeda dengan pendidikan sekolah, dan bukan merupakan pendidikan sekolah yang dilakukan di luar waktu sekolah.
Sejatinya, pendidikan nonformal sudah ada sebelum pendidikan persekolahan tumbuh di bumi ini. Pendidikan luar sekolah dimulai sejak manusia lahir di bumi dan berakhir setelah manusia masuk liang kubur. Sedangkan pendidikan sekolah dimulai setelah manusia memenuhi usia tertentu dan diakhiri pada usia tertentu.
Memang sebagai sebuah sistem, pendidikan nonformal merupakan sistem baru dalam dunia pendidikan kita, bentuk dan pelaksanaannya berbeda dengan sistem sekolah yang ada. Setiap berlangsungnya pendidikan nonformal terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah antara tutor dan peserta didik. Dengan demikian seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan atau bimbingan sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Pendidikan nonformal bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kebiasaan siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat yang dihasilkan oleh manusia-manusia terdidik juga. Sehingga dapat dikatakan bahawa PLS adalah suatu proses pendidikan masyarakat yang lebih rumit daripada pendidikan sekolah, walaupun kedua sistem ini dapat dan harus saling mendukug serta saling isi.
Pertama, sebagai Subtitusi dari pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C. Kedua, sebagai Suplemen pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training. Ketika, sebagai Komplemen dari pendidikan sekolah. Artinya pendidikan nonformal dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: kursus, bimbingan, try out, pelatihan (life skill) dan lain-lain.
Adanya pengorganisasian, program pendidikan, urutan materi, jangka waktu belajar pendek, tujuan pendidikan spesifik dan subyek/sasaran belajar. Sasaran pendidikan nonformal: untuk pemuda dan orang dewasa. Ciri-ciri Pendidikan Nonformal: Berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, tempatnya di luar kelas, bukti memiliki ilmu pengetahuan adalah keterampilan, tidak terkait ketentuan yang ketat, peserta bersifat sukarela, merupakan aktivitas sampingan, biaya pendidikan lebih murah, persyaratan penerimaan peserta lebih mudah.
Tujuan pendidikan nonformal dengan life skill-nya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri.
Bergantung Daerah
Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Medan, tentu akan berbeda life skill yang dibutuhkannya dengan mereka yang tinggal di Tanah Karo, misalnya. Di Medan yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, perkebunan tidak banyak mendapatkan tempat.
Life Skill ini pun menjadi primadona bagi pendidikan nonformal, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat
Jenis keterampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata arias, sablon, nganyam bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, otomotif, komputer dan lain-lain.
Melihat karakteristik, kegiatan dan ciri-ciri pendidikan nonformal/PLS sesungguhnya perannya cukup besar dalam memberdayakan ekolem. Seperti yang dilakukan di BT/BS BIMA , dengan program life skill komputer, bahasa Inggris dan lainnya, pesertanya tidak ada yang menganggur. Kalau tidak membuka usaha sendiri, mereka bekerja sebagai tenaga skill, bukan tenaga kerja rendahan.
Justru itu, pendidikan nonformal - apa pun bentuk dan sifatnya - sesungguhnya berperan besar dalam memberdayakan ekolem. Pemerintah pun menyadari bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Makanya, dewasa ini pemerintah telah memobilisasi untuk tumbuhkembangnya pendidikan nonformal.
Jalur pendidikan nonformal yang merupakan salah satu alternatif (jalan) membangun SDM (sumber daya manusia) kian digalakkan. Terlebih ketika konsep education for all (pendidikan untuk semua) digaungkan, pendidikan nonformal demikian terasa urgensinya yang tidak saja melahirkan manusia siap pakai (tenaga kerja), pun pencinta ilmu pengetahuan (buku) seperti Andre Wongso, Ajip Rosidi dan banyak nama lainnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar