Minggu, 17 Mei 2009

PAUD 2

Peran Strategis Orang Tua Untuk Mencegah Pengangguran Sejak Dini

Oleh: Marjohan

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Kata lain dari "pengangguran" adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Sementara itu pada zaman nenek moyang kita, kata pengangguran belum begitu lazim atau tidak dikenal sama sekali, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang , berdagang atau sebagai buruh. Pekerjaan diwariskan dari orang tua turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.

Pada masa itu, dalam suasana masyaraskat tradisionil,seperti yang telah diungkapkan- generasi tua peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on job training - atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengangkar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memperi peran- peran sosial sebagai kaum wanita, calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai- nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak..

Sejak dulu sampai sekarang nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi. Banyak orang tua berlomba untuk mendorong anak- anak mereka untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Tentu saja ini adalah terobosan positive dalam mendidik keluarga. Sebelumnya orang berlomba dalam hal kekayaan berdasarkan berapa jumlah emas, jumlah rumah, jumlah sawah sampai kepada berapa jumlah kerbau yang mereka miliki. Namun setelah kepedulian terhadap pendidikan menjadi suatu fenomena maka masyarakat akan merasa bangga bila dalam keluarga banyak anak- anak yang menjadi sarjana.

Agar anak bisa menjadi sarjana maka setiap harus sekolah setinggi mungkin- akademi atau univeritas. Bila nilai (indeks prestasi) juga tinggi maka lowongan kerja tentu sudah menunggu. Oleh karena itu masyarakat memandang sekolah yang tinggi sebagai investasi untuk mengangkat martabat dan nama baik keluarga. Kemudian terbentuklah beberapa bentuk karakter masyarakat dalam mempersiapkan kualitas keluarga atau kualitas anak.

Ada orangtua yang mendukung agar anak bergiat dan rajin dalam belajar, namun mereka juga harus menyisihkan waktu untuk mengurus kebersihan dan kerapian rumah. Dan juga cukup banyak orangtua yang mendorong anak- anak mereka untuk rajin belajar dan membebaskan mereka untuk merawat rumah (?). Maka ini merupakan sebuah sikap naif orang tua dalam mendidik dan menumbuhkan sikap dan nilai anak dalam memiliki rasa tanggung jawab. Fenomena seperti ini amat banyak terjadi dalam masyarakat.

Agar anak menjadi pintar di sekolah maka orang tua yang rendah wawasan ilmu mendidiknya hanya akan menyuruh anak untuk belajar (menghafal dan menghafal pelajaran) semata- mata. Orang tua kemudian kurang melibatkan anak dalam kegiatan membantu orang tua. Konsep seperti ini tampak memanjakan atau konsep salah didik sejak anak kecil sampai remaja. Kebutuhan diri anak pun, seperti makan, minum dan kerapian berpakaian , serba dibantu atau dilayani oleh orang tua itu sendiri. Prilaku mendidik keluarga seperti ini terjadi pada berbagai lapisan ekonomi dalam masyarakat. Termasuk keluarga petani, sebagai contoh.

Ada keluarga petani atau keluarga pedagang, asal anak bisa jadi juara di kelas (di sekolah) maka mereka tidak ikut serta untuk turun kesawah membawa cangkul, atau turun ke gudang untuk merapikan barang- barang, karena itu bukalah pekerjaan seorang anak sekolah. Kerja anak sekolah hanya cukup memegang pulpen saja untuk menulis. Ungkapan- ungkapan seperrti ini ternyata sudah menjadi fenomena dalam banyak keluarga. Ungkapan seperti ini sangat berkesan dalam memori anak. Sehingga anak- anak yang berdomisili di daerah agraris cukup banyak yang menjadi gengsi atau inferior complex (minder atau rendah diri) untuk melakukan pekerjaan yang mereka anggap sebagai kerja kasar seperti yang dilakukan oleh kakek, paman. Ayah, tetangga dan paman mereka. Maka inilah awal nya mengapa nilai life skill (kecakapan hidup) tercabut dari lingkungan keluarga atau budaya anak.

Banyak orang dari dahulu sampai sekarang bahwa sekolah adalah pabrik untuk membuat orang bisa jadi cerdas dan kemudian pintar mencari kerja. Mereka memandang kerja sebagai petani, buruh, tukang, dan lain- kain, bukanlah sduatu pekerjaan. Kalau tamat sekolah bisa bekerja di kantor atau di perusahaan maka itu baru dianggap mempunyai pekerjaan.

Pada mulanya banyak orang lebih menyukai bekerja di sektor swasta dan BUMN dengan gaji besar dari pada menjadi PNS yang gajinya pas-pasan. Namun setelah pintu kerja di sektor swasta dan BUMN menjadi lebih sempit maka orang lari menyerbu pintu jadi PNS, karena disana ada jaminab hidup di hari tua. Sekarang pintu kerja PNS pula lagi yang menjadi sempit. Ini tentu saja membuat banyak sarjana menjadi bingung dan putus asa dan mereka jatuh jadi pengangguran.

Kini pengangguran sudah menjadi suatu fenomena yang meresahkan pemerintah, masyarakat dan orang tua. Karena anak- anak yang tumbuh menjadi remaja dan dewasa, setelah tamat dari sekolah yang paling tertinggi hanya pintar menjadi pengangguran. Dan ini adalah menjadi citra buruk bagi dunia pendidikan. Lembaga ini telah dimaki- maki karena hanya pintar menciptakan orang menjadi buruh, jadi PNS dan sekarang menjadi pengangguran tingkat tinggi.

Setelah itu banyak orang berteori. Ada yang berpendapat bahwa penyebab timbulnya pengangguran adalah karena perguruan tinggi tidak membekali mahasiswa dengan muatan atau mata pelajaran wiraswasta. Kalau pun ada mata pelajaran wiraswasta maka tentu ia hanya bersifat atau memperkaya teori (sebagai kognitif saja). Pada hal berwiraswasta bukan masalah teori atau kognitif semata, melainkan ia hanya bersifat nilai sikap (afektif), tanggung jawab dan nilai keterampilan (Psikomorik) yang harus sudah tumbuh dalam budaya keluarga sejak anak berusia kecil. Namun dalam kenyataan sikap berwiraswasta sudah dibonsai dan dibabat habis oleh karakter orangtua yang hanya mendorong anak untuk belajar dan menghafal. Nasmun jarang atau tidak mendukung anak untuk berparisipasi dalam mengurus rumah dan membantu pekerjaan orang tua.

Penduduk Indonesia keturunan Tionghoa agaknya tidak pernah mengajarkan anak - anak mereka bermimpi untuk menjadi PNS. Mereka pun tidak bermimpi untuk menjadi oetani, karena mereka tidak punya tanah ulayat- tanah warisan nenek moyang turun temurun. Mereka pun punya anak dan mereka sadar bahwa anak mereka kelak harus hidup, makan, berketurunan dan juga menjadi orang. Mereka juga berfikir bagaimana agar anak- anak mereka juga bisa exist dalam hidup. Untuk itu jalan satu- satunya adalah mewarisi mereka sikap berwiraswasta dan suka bekerja keras. Menjadi pedagang adalah salah satu profesi yang mereka warisi buat anak- anak.

Maka sejak kecil, sebagai contoh, anak- anak diberi meja kecil yang di atasnya tersusun deretan botol permen dan kue yang harus dijual. Pada mulanya bukan untuk menjari untung tetapi untuk menamkan pada anak bagaimana indahnya punya ilmu berdagang atau berwiraswasta. Sebaliknya hal yang kontra terjadi pada orang Indonesia yang mengaku sebagai penduduk pribumi, yang dikarunia oleh Tuhan dengan harta pusaka dan tanah ulayat- ada yang luas namun tidak terurus. Namun yang ditanamkan pada jiwa anak- anak adalah sikap untuk jangan menyinsing lengan baju- tidak usah memegang cangkul atau menginjak lumpur. Fenomena ini seolah- olah membisikan pada telinga bathin anak bahwa kerja itu adalah kerja hina. Kerja yang mulia adalah bejerja di pabrik, di gedung, di kantor,jadi PNS, jadi tentara atau polisi agar bisa memakai pakasian gagar dan jadi pembela keluarga (Pada hal yang aslinya jabatan ini adalah untuk membela bangsa dan negara). Maka dari kecil kerja anak cukup belajar dan belajar dan cari nilai yang tinggi di sekolah, mungkin ini awal mengapa orang bersekolah hanya ingin mengejar selembar ijasah, bisa jadi prilaku ini ditumbuhkan dalam keluarga. Namun aneh kalau kemudian sekolah dituding sebagai penyebab. Tetapi sekolah dan banyak orang tidak perlu mencari pembelaan karena lebih baik saling mensewasakan diri.

Kini kita tahu bahwa menanam budaya yang salah itu sudah terjadi dan terbentuk sejak dulu, sejak anak- anak kecil , yang sudah melahirkan jutaan orang yang bermimpi menjadi PNS atau sekarang melahirkan pengangguran. Sekali lagi bahwa tidak perlu saling menyalahkan dan saling menuding. Yang lebih penting kini adalah bagaimana setiap orang bisa mewarisi dan mengajarkan semangat atau etos suka bekerja keras dan belajar sungguh sungguh, menjadi cerdas, bukan mengajar mereka untuk mengejar selembar ijazah lewat cara mencontek dan menipu diri. Juga penting untuk mewarisi anak mental untuk bisa hidup untuk suka bekerja sungguh- sungguh dan belajar mandiri, membuang jauh- jauh sikap senang bersantai dan suka terlalu memanjakan diri. Alam Indonesia ini begitu subuh dan begitu luas, sayang kualitas nya belum memadai dan kalau ada yang punya SDM, populasinya juga menumpuk di suatu tempat. Bukan kah SDM terlalu menumpuk di pulau Jawa, di kota besar atau lari ke tempat lain.

Tanggung jawab kita, orangtua, adalah untuk tidak lagi menyingkirkan anak anak agar tidak beraktivitas di rumah, melibatkan diri dalam pekerjaan membantu orang tua, namun mewarisi mereka semangat kerja sungguh- sungguh dan belajar mandiri. Namun kita, orangtua sendiri juga harus menjadi model bagi mereka terlebih dahulu. Tidak lagi zaman bagi orang kita hanya sebagai penyuruh dan sebagai pengatur tanpa memberi model bagi keluarga.

Kini adalah sangat bijaksana- sekali lagi- kalau orang tua sudi melibatkan anak anak dengan pekerjaan rumah, mengajarkan anak bagaimana hidup terjadwal atau berdisiplin (menghargai waktu) dalam bekerja dan belajar. Tentu adalah perlu untuk menyediakan anak dengan sarana hiburan, namun tidak memanjakan mereka dengan hiburan melulu sepanjang hari. Hiburan yang berlebihan akan membentukkarakter yang santai , dan tentu sangat bijaksana bila orang tua dengan sarana belajar, kalau perlu setiap rumah mempunyai perpustakaan keluarga untuk membudayakan gemar belajar. Juga sangat tepat bila orangtua membekali generasi muda kepintaran berganda (pintar berbahasa, berhitung, bergaul, beribadah, menguasai suasana hati, dan lain-lain), kemudian juga mewarisi mereka semangat bekerja dan belajar bersungguh- sungguh, wawasan dan pergaulan yang luas. Inilah salah satu strategi yang tepat diambil oleh orangtua untuk mengatasi pengangguran anak- anak mereka bila mereka dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar