Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA), TANTANGAN sekaligus ANCAMAN
Polemik boleh tidaknya perguruan tinggi asing beroperasi di Tanah Air terus berlangsung. Perbedaan pendapat dan sikap itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tapi juga terjadi diantara pengambil kebijakan pemerintah. Kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia, memunculkan sikap yang bermacam-macam. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal "Ical" Bakrie, saat pidato pertama kali seusai pelantikannya, menekankan perlunya liberalisasi pendidikan. Alasannya saat ini kompetisi dilakukan bukan lagi melalui otot atau fisik tapi melalui otak. Saat ini, kata Ical, hidup pada dunia generasi ketiga, yakni high technology, Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuka diri terhadap perkembangan dunia teknologi, termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan, katanya. (harian sindo 12-03-06)
Peningkatan pendidikan dalam negeri, sebagian besar memang masih tertinggal jauh dengan perguruan tinggi asing. Meski, bukan kebetulan pula jika UGM beberapa waktu lalu masuk dalam 100 perguruan tinggi internasional terbaik dalam bidang seni dan humaniora. Sayangnya, prestasi itu belum di ikuti perguruan tinggi lainnya. Perlunya kehadiran PTA, tidak hanya karena faktor mutu pendidikan saja, namun yang tak kalah penting adalah faktor ekonomi, yakni penambahan devisa negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian triliunan rupiah dalam setiap tahunnya akibat larinya para pelajar ke luar negeri. Kehilangan devisa itu ditambah efek domino akibat kehadiran para pelajar tersebut, seperti keuntungan di bidang pariwisata.
Deputi Pendidikan dan Aparatur Negara Menko Kesra Fuad Abdul Hamied mencatat, sedikitnya Rp. 3,7 Triliun habis di Australia akibat banyaknya pelajar Indonesia yang belajar di Negeri Kangguru itu. Sementara itu, di Inggris sudah mencapai Rp. 308 miliar. Uang sebesar itu sebenarnya bisa membuat puluhan perguruan tinggi, katanya dalam diskusi "Internasionalisasi Perguruan Tinggi" di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dari data statistik, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Australia ada sekitar 18 ribu, di Inggris 1.150 dan masih banyak lagi di Amerika, Timur Tengah dan Asia Tenggara sendiri. Saat ini sudah lebih dari dua ribu mahasiswa Indonesia berada di Malaysia dan Singapura. Fuad heran dengan masih kuatnya penolakan perguruan tinggi dalam negeri terhadap kehadiran PTA. Padahal kehadiran PTA bisa memacu kompetisi pendidikan di Indonesia, dan masyarakat memiliki perbandingan untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu perlu digulirkan wacana Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Masyarakat.
Kalangan perguruan tinggi, memang menanggapi kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) secara beragam. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Kehadiran PTA sangat dilematis bagi perguruan tinggi dalam negeri dan pemerintah. Satu sisi kehadirannya diperlukan agar devisa tidak hilang, tetapi disisi lain bisa mengancam perguruan tinggi dalam negeri. Sementara masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, saat ini memilih PTA. Seharusnya kehadiran PTA menjadi tantangan bagi pelaku pendidikan di Indonesia, sehingga memunculkan semangan untuk terus memperbaiki kualitasnya. Bahkan kalangan DPR mengakui kehadiran PTA sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara Pemerintah lambat meresponnya. Selain itu pula mereka mengakui dan bisa memaklumi kualitas PTA dibandingkan perguruan tinggi dalam negeri. Wajar apabila para orangtua berloba-lomba menyekolahkan putra-putrinya ke luar negeri. Hal ini merupakan hak individu masyarakat untuk menentukan masa depan pendidikan putra-putri mereka.
Mengutip pernyataan Managing Director INTI College Indonesia, Sudino Lim SE bahwa keberadaan PTA di Indonesia diharapkan bisa memacu percepatan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, sistem pendidikan, proses pembelajaran dan lain-lain. Sedangkan dilihat dari pangsa pasarnya, hadirnya PTA bukan ancaman bagi perguruan tinggi di dalam negeri, karena PTA sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Pembukaan program PTA di Indonesia justru akan mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Dari segi ekonomi, devisa tidak akan hilang. Apalagi, saat ini jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri cukup besar.
Dibukanya keran perdagangan bebas juga memungkinkan universitas luar negeri membuka cabang di Indonesia. Siap tidak siap, kompetisi tentu saja akan semakin ketat karena tidak hanya bersaing dengan sesama universitas lokal, para pendatang luar juga harus dihadapi. Kerjasama antara PTA dengan perguruan tinggi dalam negeri pada dasarnya merupakan upaya universitas untuk diakui di dunia Internasional dan mensejajarkan diri dengan universitas dari luar negeri. Langkah ini dilakukan agar lulusan perguruan tinggi dalam negeri tersebut memiliki kompetensi yang diperlukan untuk bisa bekerja dan merebut peluang kerja di luar negeri, selain di dalam negeri sendiri. Dengan pola inilah, maka perguruan tinggi dalam negeri dapat menghasilkan Lulusan yang dapat GO International untuk meraih peluang kerja diluar negeri, sehingga akan meningkatkan citra Bangsa Indonesia di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar