Minggu, 17 Mei 2009

Pendidikan Layanan Khusus 3

. Pemerintah Daerah Diminta Komitmen Biayai Pendidikan Gratis

Selasa, 14 April 2009 | 17:14 WIB
TEMPO Interaktif , Jakarta: Pemerintah daerah diminta berkomitmen membiayai pendidikan gratis di daerah masing-masing. "Tanpa komitmen pemerintah daerah, pendidikan gratis tidak akan terwujud,' kata Koordinator Divisi Advokasi Publik Indonesian Corruption Watch Ade Irawan di Jakarta, Selasa (14/4).
Pada acara Rembuk Nasional Pendidikan 2009, Februari lalu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan tidak boleh ada pungutan lagi dalam proses pembelajaran pendidikan dasar sembilan tahun. Sekolah di sekolah negeri sampai sembilan tahun dijamin gratis, kecuali sekolah yang menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional.

Selama ini, kata Ade, pemerintah pusat memang telah mensubsidi pendidikan dasar melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun jumlahnya, lanjut dia, tidak mencukupi.

Pemerintah mengalokasikan BOS untuk siswa sekolah dasar di kabupaten sebesar Rp 397 ribu/siswa/tahun, dan siswa sekolah dasar di perkotaan sebesar Rp 400 ribu/siswa/tahun.

Sedangkan untuk siswa sekolah menengah pertama di kabupaten sebesar Rp 570 ribu/siswa/tahun dan untuk siswa yang ada di perkotaan sebesar Rp 575 ribu/siswa/tahun.

"Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah pusat perhitungan dana itu datangnya dari mana, karena kalau dibandingkan kebutuhan minimal siswa per tahun, angka itu sangat kecil," kata Ade lagi.

Padahal, jelas Ade, badan penelitian dan pengembangan Departemen Pendidikan Nasional pada 2006 sudah menghitung kebutuhan minimal satu orang siswa untuk tingkat sekolah dasar Rp 1,8 juta/tahun, dan kebutuhan siswa tingkat sekolah menengah pertama yaitu Rp 2,7 juta/tahun.

REH ATEMALEM SUSANTI

4. Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan
Minggu, 29 April 2007 | 16:15 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif.

"Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).

Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.

Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.

Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.

Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.

Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

Dwi Riyanto Agustiar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar