Minggu, 17 Mei 2009

Pendidikan Khusus 4

Orang Cacat Dilarang Sekolah di Sekolah Umum
Kamis, 09 Juni 2005
TEMPO Interaktif, Jakarta:Penyandang cacat kini tidak lagi boleh bersekolah di sekolah umum. Dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah menengah atas tahun 2005 dicantumkan persyaratan calon siswa tidak memiliki cacat fisik yang menggangu kegiatan belajar mengajar.

“Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural telah lama diterapkan sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi, Kamis (9/6).

Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah. Sebagai pilot project jumlahnya baru 3.

Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat di mana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan.

Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika dirata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. “Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar desa saja sulit,”sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar mengajar. “Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.

Padahal target Asis Pasific di mana Indonesia turut menandatanganinya, di tahun 2012, sekurangnya 75 persen anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya, baru 5 persen dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. “Yang sekarang sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar, mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun ini mensyaratkan siswa baru tidak memiliki cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. “Juga bagi yang memiliki kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.

Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. “Itu untuk kepentingan belajar mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga, tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. “Kalau buta warna kan mesti pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.

DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. “Di Jakarta ada beberapa, karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya. Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.

badriah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar