Minggu, 17 Mei 2009

Pendidikan Keagamaan 2

Quo vadis sistem pendidikan Indonesia


Kontroversi Rancangan Undang Undang sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) nampaknya belum akan berakhir. Dalam beberapa bab dan ppasalnya, oleh banyak pihak digugat. Hal ini terutama karena RUU Sisdiknas, di nilai memaksakan kehendak dalam hal ini , pendidikan agama. Bila saat ini seorang siswa belajar di lembaga pendidikan yang di kelola oleh umat lain, yang sering terjadi siswa tersebut tak memperolah pendidikan agamanya, sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi haknya.

Untuk mengatasi hal itulah pemerintah, melalui komite reforemasi Pendidikan, merancang UU Sisdiknas yang baru, dan kontroversial. Hal ini misalnya dalam pasal 13 ayat (1) huruf a) menyebutkan : setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama disemua jenjang dan jenis pendidikan..

Konsekwensinya, lembaga pendidikan islam, bila siswanya ada yang beragama Kristen, Hindu atau Budha harus menyediakan guru agama yang seagama. Begitu juga lembaga pendidikan Katolik bila ada siswanya yang beragama Islam, harus menyediakan guru agama yang seiman pula. Bila di kaji lebih jauh, sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang positif. Sejak dini siswa di perkenalkan kepada nilai nilai pluralisme dan toleransi sesama umat beragama. Terjadinya konflik bernuansakan agama salah satu penyeabnya adalah tidak diperkenalkan nilai pluralisme keagamaan sejak dini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, dengan keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Hal ini bisa menjadi potensi, tetapi juga hal yang kontraproduktif jika tak ditangani dengan benar. Usaha usaha kearah tersebut salah satunya melalui penanaman nilai keagamaan yang benar mulai dari lingkup pendidikan dasar hingga tinggi. Dari itu pendidikan agama yang tepat, disampaikan oleh orang yang tepat (guru yang seiman) merupakan conditio sine qua non. Hal ini karena : pertama, pendidikan agama bukanlah masalah penyapaian pesan pesan verbal semata, yang cukup disampaikan pada aspek kognitif, tetapi lebih pada dimensi yang lebih mandasar dan hakiki, yaitu transfer of value, tertanamnya nilai ajaran keimanan agama dalam diri peserta didik. Kedua, adanya kompetensi dan keteladanan bagi pendidik agama bila ia juga pemeluk agama tersebut. Pendidik seiman ini terutama, menurut hemat penulis, di tujukan pada pendidikan dasar dan menengah. Beda halnya kalangan perguruan tinggi, seperti jurusan theologi, yang mempelajari perbandingan agama disampaikan oleh orang yang beda agama tetapi memiliki otoritas di bidangnya.

Kontroversi lainya adalah ideologi kapitalis dan eksklusifisme pendidikan. Dalam pasal 5 ayat 6 di nyatakan: pendidikan diselenggarakan berdasarkan otonomi, akuntabilitas publik dan jaminan mutu. Isu yang di angkat dalam padsal nini memang bagus. Idealnya tiap sekolah menerapkan standard mutu yang ketat seperti penerapan managemen mutu terpadu (total quality management). Semangat kapitalime dan liberalisasi pendidikan juga nampak dalam usaha privatisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan hukum (pasal 46 ayat 2, masuknya lembaga pendidikan asing di indonesia (pasal 56 ayat 1). Demikain juga mengenai pemukaan kelas jauh (pasal 14 ayat 2 dan 27 ayat 1-3) yang di tujukan bagi kaum elit tetapi patut di pertanyakan kualitasnya. Pengadaan kelas jauh yang marak akhir akhir ini di eberapa perguruan tinggi pernah di hujat oleh masyarakat dan menteri pendidikan Nasional Malik Fajar. Demikian pula nasib lembaga pendidikan yang di kelola pihak swasta yang tak jelas eksistensinya, karena ¥hampir tak ada satu pasal yang mengatur keberadaan dan tanggung jawab negara terhadap sekolah swasta tersebut.

Apakah semua kewajiban lembaga pendidikan swasta di bebankan kepada masyarakat, sedangkan pemndidikan adalah hak warga negara? RUU Sisdiknas yang memuat pengajaran agama oleh guru yang seiman, merupakan hal yang patut kita dukung. Diharapkan dengan penanaman nilai pluralisme dan toleransi sejak dini dapat mengurangi akar konflik yang bernuansa keagamaan. Peserta didik menjadi lebih mampu dalam menghadapi perbedaan pendapat yang timbul dari beda agama. Dan penghormatan ini akan terus dibawanya hingga ia dewasa. Namun dalam hal liberalisasi dan semangat kapitalisme lembaga pendidikan, perlu di cermati lebih jauh konsekwensi logis dan dampak negatif yang akan timbul terutama bagi kalangan tak mampu. Jika memang pendidikan adalah hak warga negara, maka sudah semestinya pemerintah mengusahakan pendidikan murah bagi rakyat, bukan sebaliknya. Bila memang demikian, pertanyaannya adalah sudah siapkah kalangan pendidik di negeri ini untuk menghadapai tuntutan RUU yang --dalam beberapa pasal-- tak realistis ini?

Mahasiswa Tarbiyah dan koordinator HISAPend (Himpunan Studi Agama dan Pendidikan ) Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Alamat kampus : jalan A Yani Tromol Pos 1 Pabelan kartasura Surakarta Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar